Teru Teru Bozu
Lily adalah seorang gadis kurus yang aneh. Ketika anak anak bermain, ia memilih menyendiri, mencorat coret pada bukunya atau bernyanyi nyanyi sendiri dengan nada yang kecil. Fisiknya tampak seperti seorang anak kecil pecandu narkoba. Mata panda, kulit pucat dan lesu sepanjang pelajaran. Begitu tertutup dan mungkin agak idiot. Ia tak pernah punya teman. Ia suka cekikikan sendiri saat hujan. Siapapun akan merinding duduk sebangku dengan Lily.
Lalu bagaimana Sanders bisa berteman dengannya? Sejujurnya Sanders juga anak yang pendiam, sangat pendiam hingga teman terdekatnya hanyalah game. Namun ia tidak gila seperti Lily. Hanya sepupu atau saudaranya yang terhitung dekat dengan Sanders.
Lelaki itu pernah kehujanan suatu hari, ketika ingin ke rumah sepupunya. Hujan di Ohio tak pernah bersahabat dan ringan. Anak malang itu sedikit kesal, lalu memilih berteduh di sebuah platon kumuh. Semarak hujan dan petir yang saling menjerit semakin memudarkan harapannya. Ia menengadahkan tangannya dan membiarkan titik titik air yang dingin menghujam tangannya. Hujan ini akan lama. Ia menghela napas.
Ia meringkuk kedinginan di pojok. Tak ada orang yang lewat, hanya mobil mobil yang dengan cepat menghilang lagi di penghujung jalan. Entah kenapa, matanya tiba tiba memutar ke arah kanannya, sebuah rumah tua bergaya Gothian. Rumah bertingkat dua dengan cat yang tampak seperti rumah abad 1900an. Ia begitu terheran saat melihat rumah sekuno itu, tapi lebih kaget lagi saat ia tau ada orang yang berdiri di seberang. Membuat boneka boneka kecil yang ia gantung di dekat pot bunga. Dan wajah orang itu begitu ia kenal, si Lily. Walau dari kejauhan, dan pandangannya kadang terhalang hujan, tapi ia hapal muka Lily. Sanders bingung antara menyapa atau tidak.
Kemudian ia memutuskan pura pura tak melihat gadis aneh itu. Lagipula Sanders tak terlalu kenal dengan orang kurang waras itu. Kalau ia melangkah ke tempat Lily, apa yang akan gadis itu lakukan? Menyuguhinya teh dan membawakannya handuk? Omong kosong. Gadis itu mungkin akan cekikikan sendiri seperti kebiasaannya dikelas.
Sanders pura pura menengok ke arah jalan, kirinya, seolah termenung menunggu hujan reda. Apa Lily sadar ia ada disini? Atau bahkan sedari tadi Lily sudah tau ia disini dan Lily tengah cekikikan sendiri lagi melihatnya pura pura menanti hujan? Sanders berpikir sangat keras sampai ia mengeratkan giginya begitu kuat. Pikirannya memilih milih beberapa kemungkinan terlogis. Ia tak sadar ada sebuah tangan menepuk bahunya.
"Ahh!" Jerit Sanders, ia terlonjak jatuh begitu paniknya.
Didepannya telah berdiri si gadis misterius itu. Menatapnya dengan ekspresi antara cuek dan heran. "Kenapa kau?" Kali ini, Sanders bersumpah si Lily tiba tiba berubah waras dan normal.
"Er-r ti-tidak. Aku sedang menunggu temanku menjemputku." Mulut Sanders mengujarkan kebohongan.
"Jangan bohong. Kau kira aku tadi tak tahu kau kehujanan? Kau juga melihatku kan tadi?" Mata si gadis seolah memaksa pengakuannya. "Bajumu saja basah."
"Bukan begitu maksudku…"
"Heh." Lily seketika beranjak pergi dan menyebrang melewati hujan dengan cepat, kembali ke rumahnya. Alih alih lari dari Lily kurus itu, ia malah menunggunya. Gadis itu kembali dengan membawa handuk biru bergaris garis. "Lap badanmu."
"A-apa?"
"Lap badanmu." Lily menatap datar ke arah hujan.
Sanders tak menyangka prasangka konyolnya tadi berubah menjadi nyata. Atau dia sendiri yang sebenarnya konyol sampai berpikiran seburuk itu pada gadis yang berdiri di sampingnya? Sekonyong konyong ia merasa bersalah. "Terima kasih ya."
"Apa yang kau lakukan disini?"
Lelaki itu sibuk mengeringkan badannya dengan handuk bergaris garis itu, yang samar samar berbau vanili. "Aku?--er, menunggu hujan reda."
"Menunggu hujan reda atau memperhatikan rumahku?"
Sanders gugup. Rasanya mukanya itu berubah semerah tomat. Ia mengutuk dirinya sendiri karena begitu ceroboh dan bodoh dalam berbohong.
"Sudahlah, lupakan. Kau mau teh?"
Seperti ada dorongan yang memaksanya, Sanders berkata ya alih alih tidak. Gadis itu mencekal lengannya dan menariknya ke arah rumahnya yang di kanan mereka.
"A-apa?"
Lily berbalik padanya dengan tenang. Sanders merasa seolah gadis ini bukan si Lily yang biasa selalu menyendiri dan aneh di sekolah. Lily yang sekarang menuntunnya ke rumahnya ini sangat normal dan waras dan sama sekali tak mirip dengan Lily saat sekolah." Ayo ke rumahku. Kau bilang mau minum teh." Ujarnya dengan lembut, hampir tertelan gemuruh hujan yang kasar.
Sesaat kemudian ia sudah berada di depan rumah Lily yang tadi hanya ia perhatikan dari kejauhan. Ia menengadah ke atas. Banyak boneka boneka putih kecil dengan tinta spidol yang sudah pudar terkena gerusan hujan, tergantung oleh benang. Boneka kecil itu digantung di terasnya, meleleh beserta hujan. Bahkan ada yang sudah benar benar rusak, hingga kapasnya keluar. Lily kemudian masuk ke rumah yang beralas pualam keramik. Ia menghilang di balik lorong panjang yang gelap, kemudian tak lama memegang nampan berisi 2 gelas teh hangat. Sanders segera mengambil segelasnya dan menenggaknya. Mereka duduk di ruang tamu yang penuh aroma vanili. Petir saling bersahutan dengan ngeri diluar sana. Entah sudah berapa lama Sanders menunggu hujan itu kelar.
Sanders heran kenapa Lily menggantung boneka boneka kecil menyeramkan itu disitu. "Untuk apa boneka boneka di luar?"
"Teru teru bozu. Pernah dengar?"
Ia pernah dengar--mungkin sekali dua kali. Tapi tak pernah tau artinya. "Teru teru bozu?"
Lily menyesap teh satunya lagi. "Boneka penangkal hujan."
"Nyatanya hujan tetap turun. Seperti sekarang."
Kini gadis itu memilih menatap ke atas sembari membisu. Entah apa yang ada dalam benaknya. Diletakkannya gelas yang sekarang hanya terisi setengahnya saja. "Kau tak mengerti. Aku harus terus membuatnya."
"Agar?"
"Agar mereka tak mengejar ngejarku dan membawaku pergi."
"Siapa?"
Lily mendongak ke sekelilingnya, seolah takut ada kuping kuping lain yang mendengar pembicaraannya. Raut mukanya agak membuat bulu roma Sanders tegang. Lalu ia mendekat dan membisikkan berapa patah kata ke lelaki itu."Yang tak terlihat."
"Jujur saja, aku tak mengerti. Kenapa kau suka bertindak aneh saat di sekolah? Nyanyi nyanyi sendiri, dan menggumam sendiri."
"Itu bukan perbuatanku, Yang tak terlihat lah yang membuatku seperti itu. Disekolah aku tak bisa membuat boneka itu. Hati hatilah, Yang tak terlihat hanya mengincar anak anak yang pendiam. "
Sanders pura pura berwajah sedih dan menyesal. Sebenarnya ia tak peduli apa ocehan gadis gila ini. Ia hanya ingin mendapat tempat berteduh yang nyaman. "Maaf, aku tak mengerti maksudmu."
"Mungkin suatu hari, ia juga akan mengejarmu. Kau juga pendiam kan?"
"Bisakah kita jangan bicarakan omong kosong ini? Omong omong, dimana orang tuamu?"
Lily agak kaget dengan reaksi Sanders, namun gadis itu kembali tenang dalam hitungan detik. "Mereka di tempat yang jauh sekali."
"Jadi kau tinggal sendiri? Di rumah sebesar ini?"
"Ya."
Kembali semarak hujan mengisi jeda keheningan mereka. Suasananya begitu canggung. Bayangkan saja berkunjung ke rumah teman sekolahmu yang tak terlalu dekat dan diam berdua di ruang tamu tanpa ada bahan pembicaraan. Mungkin karena jenuh atau bosan, Lily memilih untuk masuk ke salah satu pintu, mungkin kamarnya. Dan berdiam disitu tanpa keluar lagi.
Sanders melangkah ke teras dan memperhatikan boneka boneka malang itu terguyur air. Lelaki itu mengeryit pahit. Ia merasa berhak menyalahkan hujan yang turun ini gara gara ketidakmanjuran teru teru bozu. Boneka penangkal hujan apanya. Ia menarik lepas satu boneka jelek itu dan membuangnya jauh jauh ke depan. Hari itu Sanders pulang ke rumahnya sekitar jam 6 petang. Ia bahkan tak berpamitan dengan Lily, semua yang ia lakukan hanya menunggu rintik rintik itu tak terdengar lagi dan selanjutnya, ia lari kencang--sekencang mungkin.
Besoknya, ia pergi ke sekolah. Ketika bertemu Lily di kelas, ia hendak menyapanya. Tapi entah kenapa, air muka Lily begitu aneh dan asing. Seolah seolah pertemuan mereka kemarian tak pernah ada. Tak pernah terjadi. Lelaki itu akhirnya memilih duduk diam. Sanders bertanya tanya dalam hati. Apa mungkin Lily marah karena ia pergi tanpa pamit dulu? Atau karena ketidakpercayaannya pada omongan Lily? Entahlah. Perempuan itu sangat aneh. Lily tetap saja pada kebiasaan lamanya yang janggal itu.
Berbulan bulan kemudian, ada kabar menggemparkan, dimana tertulis di setiap surat kabar di Ohio, Lily Lakewinter telah menghilang. Lily terakhir kali terlihat sepulang sekolah. Namun polisi tetap gagal menemukan sosok gadis misterius itu. Sanders begitu bosan mendengar gosip tentang kemungkinan keberadaan Lily yang di gembar gemborkan teman sekolahnya. Apalagi ia begitu tertutup dan misterius. Sanders meremas tiap koran yang mengemas kebohongan tentang Lily dengan dibalut fakta palsu yang pernah ia baca. Ia jadi geram. Sampai sampai ada teman sekelasnya yang kurang kerjaan yang bilang "Lily diculik alien", "Lily menjadi gila", Lily ini dan Lily itu. Saat Lily baik baik saja, mereka tak peduli dengannya, menganggapnya tak ada dan kemudian saat ia menghilang, semua orang tiba tiba geger dan heboh sendiri.
Ia memutuskan untuk pergi mengunjungi rumah gadis itu. Diraihnya jaket birunya dan ia segera bersiap siap melaju dengan sepeda tuanya itu. Ia berharap gosip gosip itu hanya sekadar gosip gosip murahan belaka. Sanders tak tahu mengapa ia jadi sepeduli ini pada gadis yang bahkan tak sepenuhnya ia kenal. Pada Lily. Pada si pembuat boneka Teru Teru Bozu itu. Ia merasa ada satu kepingan puzzle yang penting yang telah ia lewatkan. Ia jadi merasa sebenarnya Lily tak pernah gila. Gadis itu tak gila.
Tapi ia sendiri ragu.
Ia parkirkan sepeda itu di depan rumah tua yang pernah ia masuki itu. Boneka boneka yang waktu itu tergantung disana telah hilang, hanya tersisa benang benang yang tertiup angin dengan malas. Boneka boneka itu hilang, mungkin terlepas dari benang atau dicopot seseorang. Rumah itu hening seperti kehidupan malam. Ada garis kuning polisi yang dibentangkan disekelilingnya. Hawanya gelap dan suram. Tangannya gemetar saat ia mencoba memutar gerendel besinya. Ia sempat terpikir untuk membatalkan niatnya. Namun akan terasa bodoh kalau ia datang jauh jauh kesini dan pulang tanpa apa apa.
"Lily?" Sapanya, ragu ragu. Namun tak ada jawaban.
Ia mendorong pintu itu. Ia terkejut sekaligus lega mendapati pintu tak terkunci dan terbuka dengan gampang.
Ia melangkah pelan kedalamnya. Atmosfer rumahnya bahkan lebih gelap dan suram di ruang tamu. Disampingnya meja kaca itu tampak seperti tak tersentuh sama sekali. Ia sentuh meja itu dengan ujung jarinya. Dan cetakan debu langsung mewarnai jari Sanders. Kotor sekali tempat ini. Batin Sanders. Ia tiba tiba ingin bersin. Sekarang tatapannya menuju pintu yang waktu itu dimasuki Lily.
"Lily?"
Hening.
Kakinya berjalan sendiri ke arah kamar Lily. Pintu kayu rosewood itu tertutup rapat. Tanpa ragu lagi ia memutar knopnya dengan tegang. Deritan kayu yang terbuka perlahan semakin keras. Hatinya berdebam dengan keras. Ia masuk dan mendapati ranjang kecil yang kosong dan berantakan.
Selimut bermotif hello kitty itu begitu usang dimakan usia. Ada lemari tua di samping kanan ranjang itu. Sanders bukan orang yang tak tau tata krama, tapi tata krama bukanlah hal yang harus diperhatikan, saat ini. Ada sebuah buku diatas ranjang itu. Dan semacam kain putih kecil dan kapas. Beserta spidol hitam dan gunting. Perlahan, kakinya mendekat ke arah ranjang. Otaknya berusaha menebak benda apa itu. Jujur saja, bulu kuduknya meremang walau Sanders sendiri tak tau apa yang harus ditakutkan. Suasana rumah ini atau benda di atas ranjang.
Ia baru sadar itu mungkin teru teru bozu yang hendak dibuat Lily.
Sanders perlahan menarik buku bercover hitam pekat itu ke arah tepian ranjang. Mungkinkah ini diary si Lily? Sanders merasa geli membayangkan apa yang mungkin ditulis Si gadis tak waras itu di situ. Yang tak terlihat? Teru teru bozu?
Ia membuka lembar lembar pertama, tapi tak ada coretan tangan apapun yang bisa ia tangkap. Tangannya semakin liar membuka dan membuka. Sampai pada pertengahan halaman ada tulisan kecil dengan motif cakar ayam.
"Kata nenek, teru teru bozu bisa menjagaku dari mereka.
Mereka takut dengan jiwa jiwa orang baik. Teru teru bozu saat dibuat akan ditempati roh roh orang dekat yang telah meninggal. Seperti papa dan mama. Jadi aku bukan membuat boneka itu untuk menangkal hujan, tapi untuk menangkal mereka. Kucoba cara itu dan terbukti. Yang tak terlihat tidak pernah lagi menggangguku ketika dirumah. Mereka benci dengan teru teru bozu. Aku bahagia papa dan mama masih melindungiku walau mereka sudah tiada.
Namun aku sangat takut saat disekolah. Tidak mungkin aku membuat teru teru bozu di sekolah. Itulah celah yang dimanfaatkan mereka, mereka membuatku kehilangan akal sehatku agar mereka bisa membawaku pergi suatu hati."
Pikirannya sedikit berkecamuk saat membacanya. Lily berbohong pada Sanders soal orang tuanya yang telah meninggal. Ia penasaran siapa 'yang tak terlihat' yang selalu disebut sebut sebut oleh gadis itu. Membuatnya kehilangan akal sehat? Apa mungkin itu sebabnya ia begitu normal saat di rumah dan gila saat di sekolah? Otak Sanders seakan ingin meledak. Bahkan isi diary ini sendiri tak masuk akal.
"Mungkin suatu hari, ia juga akan mengejarmu. Kau juga pendiam kan?"
Kata kata Lily menggema gema di batin remaja itu. Sanders bergidik. Apakah 'mereka' berhasil membawa pergi Lily? Kemana Lily sebenarnya? Sungguh amat kebetulan gadis itu bisa hilang saat ini.
Tiba tiba Sanders meraih kapas dan kain teru teru bozu itu. Ia keluar dari rumah itu dengan cepat dan membanting pintunya. Ia tak ingat kapan ia pulang. Ia hanya ingat bagaimana hatinya berdebar sangat sakit di dalam dadanya, bagaimana cepatnya ia mengayuh sepedanya, bagaimana keringat tak henti henti mengalir turun dari dahinya. Ia yakin ia tak salah lihat. Sanders berani bersumpah, demi namanya sendiri, ia melihat kepala--hanya kepala Lily di luar jendela kamarnya, sehabis membaca buku itu. Dipegang oleh siluet bayang bayang hitam. Raut datar dan mata dingin Lily menatap Sanders setajam pisau. Parasnya sepucat boneka teru teru bozu yang pernah dibuatnya.
Tatapan Lily membunuhnya. Seakan berkata 'jangan kembali lagi'.
Sanders ingin berteriak saat itu juga.
Namun yang ia lakukan hanyalah lari dan lari.
--
Lelaki itu mulai membuat boneka kecil itu. Dipasangnya ke jendelanya, dan boneka dengan senyum itu bergoyang goyang diterpa angin. Boneka itu memang gampang rusak kalau terkena hujan tapi wajib digantung di dekat tempat terbuka, maka dari itu Sanders terus membuatnya.
Teru teru bozu.
Sesaat kemudian hujan turun dengan buas. Tapi sanders menatap keluar jendela dengan datar. Orang bilang boneka ini boneka penangkal hujan.
Namun Sanders tidak sedang menangkal hujan.
Post a Comment